Demokrasi
Indonesia
Salah Sistim
atau Salah Orang?
Menyimak perkembangan di tengah masyarakat
bangsa akhir-akhir ini, beberapa tokoh pada beberapa media mempermasalahkan
sistim pemilihan langsung, sebagai biang keladi kekisruhan berbangsa. Tetunya kesimpulan
tersebut belum tentu benar, apalagi jika hanya melihat permasalahan yang terjadi
akibat pemilihan presiden (pilres) tahun 2014 dan pemilihan kepala daerah ibu
kota Jakarta (pilkada) tahun 2017 kemarin. Karena pemilihan langsung presiden
sudah terjadi tiga kali yaitu; tahun 2004, tahun 2009 dan tahun 2014, dan
terbukti dua pilpres sebelumnya tidak berdampak seperti yang terjadi sekarang
ini. Walaupun pada dua pilpres sebelumnya, suara ketidakpuasan dan
ketidaksenangan terhadap presiden terpilih juga cukup sering terdengar, tetapi
tidak sampai menimbulkan perpecahan disana sini seperti yang terjadi sekarang.
Apakah karena pada dua pilpres sebelumnya yang bertarung tidak head to head
tetapi lebih dari dua pasang calon? Atau karena pada era tersebut penggunaan
media sosial yang dituding sebagai salah satu penyebab perpecahan di tengah
masyarakat, belum sesemarak sekarang? Harus ada penelitian yang mendalam dengan
menggunakan data dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan, sebelum mengambil
kesimpulan.
Mengambil
hikmah dari pergesekan di akar rumput ketika hasil pemilu tahun 1999 yan dimenangkan
oleh partai demokrasi perjuangan PDIP, tetapi dalam sidang umum majelis
permusyawaratan rakyat MPR, ketua umumnya tidak terpilih menjadi presiden. Ternyata
para pendukung PDIP tidak bisa menerima kenyataan, walaupun kenyataan tersebut merupakan
hasil dari sistim yang sama-sama disepakati. Tidak ada undang-undang dan aturan
yang dilanggar oleh Amien Rais cs, ketika berhasil mendudukan Abdurahman Wahid
sebagai presiden. Tetapi pendukung PDIP tetap sangat marah, sehingga di beberapa
daerah yang menjadi basis PDIP, terjadi kerusuhan yang cukup parah. Mereka
tidak bisa menerima kenyataan bahwa pemenang pemilu tidak otomatis menjadikan
pemimpin partainya sebagai presiden. Begitu juga ketika alm presiden
Abdurrahman Wahid diturunkan dari kursi ke presidenan, yang oleh sebagian besar
umat nahdatul ulama NU dianggap sebagai kerjaan Amien Rais ketua MPR yang juga mantan
ketua Muhammadiyah. Sebagian umat NU juga marah dan akibatnya beberapa gedung
dan aset milik organisasi Muhammadiyah di beberapa daerah dirusak oleh oknum
pengikut dan pendukung NU. Dengan dua sejarah kelam bangsa ini ketika masih menerapkan
pemilihan kepala eksekutif diserahkan kepada anggota legislatif atau dewan atau
majelis sebagai perwakilan rakyat. Maka belum bisa disimpulkan bahwa pemilihan
langsung adalah sudah pasti salah atau tidak baik, sehingga harus dirubah
kembali.
Apalagi
dengan berbagai sandiwara dan permainan konyol yang terjadi di lembaga
legislatif. Seperti lahirnya undang-undang yang mengatur majelis, dewan
perwakilan daerah, dewan perwakilan rakyat dan dewan perwakilan rakyat daerah
atau MD3, sehingga partai pemenang pemilu tidak mendapat perwakilan pimpinan di
dewan. Naiknya kembali seorang ketua dewan yang telah mengundurkan diri karena
permasalah yang cukup menghebohkan, dan menurut pandangan beberapa tokoh sangat
memalukan. Atau masih bercokolnya seorang wakil ketua dewan yang oleh partainya
sudah diberhentikan dari keanggotaan partai, padahal dia waktu dipilih menjadi
wakil ketua adalah mewakili partainya. Dan banyak lagi lelucon dan sandiwara
yang tidak lucu dipertontonkan kepada rakyat, termasuk anggaran yang lebih
banyak demi kepentingan anggota dewan ketimbang demi kepentingan rakyat.
Sehingga mungkin akan lebih berbahaya, dengan kondisi sekarang ini mengamendemen
undang-undang dasar 45 dan menyerahkan pemilihan kepalah eksekutif kepada
legislatif. Menghilangkan partisipasi rakyat terhadap sistim pemerintahan dan
negara jelas bukan suatu langkah bijak.
Jika belajar
dari kemajuan ekonomi dan industri negara China yang sangat luar biasa, setelah
mereka melakukan reformasi pada tahun 1978, lalu merubah sistim ekonomi
tertutup menjadi terbuka. Kemudian mereka menerapkan demokrasi ala China yang
mereka sebut dengan demokrasi vertikal, dimana partisipasi rakyat dalam sistim sangat
kuat dan penting. Dalam sistim demokrasi vertikal tersebut, terjadi titik temu
antara kebijakan yang dibuat oleh pemimpin dari atas atau top-down dengan
emansipasi rakyat atau botton-um. Walaupun mereka menganut sistim partai
tunggal, tetapi proses lahirnya seorang pemimpin sudah sesuai dengan
nilai-nilai luhur bangsa mereka yang mengutamakan hubungan harmonis. Rakyat
bisa melupakan kepedihan masa lalu dan menatap masa depan, karena antara
pemimpin dan rakyat bisa sepakat
membangun bangsa untuk kesejahteraan bersama. Dan terbukti reformasi dan sistim
yang mereka pakai telah merubah mereka dari negara miskin menjadi negara
raksasa industri dan raksasa ekonomi. Walaupun oleh Barat, sering
dipermasalahkan sistim demokrasi yang mereka pakai, karena tidak sepenuhnya
mengadopsi demokrasi Barat yang menurut Barat adalah cara terbaik.
Belajar dan memperhatikan negara yang sudah mampan demokrasinya, memang tidak ada yang instan, ada negara yang butuh waktu ratusan tahun untuk membangun demokrasi. Juga ada negara yang hanya beberapa puluh tahun saja, contohnya China dan Korea, tetapi kedua negara ini tidak meniru secara utuh demokrasi Barat melainkan menyesuaikannya dengan nilai-nilai luruh bangsa mereka. Nilai luhur bangsa Indonesia adalah musyawarah mufakat, gotong royong dan tepo seliro bertenggang rasa, sehingga mungkin nilai-nilai luhur bangsa yang sudah mulai luntur tersebut yang terlebih dahulu harus diperbaiki.
Belajar dan memperhatikan negara yang sudah mampan demokrasinya, memang tidak ada yang instan, ada negara yang butuh waktu ratusan tahun untuk membangun demokrasi. Juga ada negara yang hanya beberapa puluh tahun saja, contohnya China dan Korea, tetapi kedua negara ini tidak meniru secara utuh demokrasi Barat melainkan menyesuaikannya dengan nilai-nilai luruh bangsa mereka. Nilai luhur bangsa Indonesia adalah musyawarah mufakat, gotong royong dan tepo seliro bertenggang rasa, sehingga mungkin nilai-nilai luhur bangsa yang sudah mulai luntur tersebut yang terlebih dahulu harus diperbaiki.
Kesimpulannya,
diperlukan kajian yang konprehensif dan menyeluruh jika akan kembali
mengamandemen UUD 45 khususnya tentang pemilihan langsung. Kalaupun terpaksa
harus mengamandemen, maka persyaratan dan tahapan yang dilalui haruslah
betul-betul mendukung. Seperti bagaimana sistim dibuat terlebih dahulu, sehingga
anggota dewan yang terpilih betul-betul mencerminkan kenegarawan dan kemampuan
mengelola negara dari anggota yang terpilih. Sehingga siapapun yang mereka
pilih menjadi pemimpin eksekutif adalah merupakan cerminan dari aspirasi
mayoritas rakyat. Karena akan sangat berbahaya jika partisipasi rakyat dan
berbagai kebebasan yang dinikmati rakyat sebagai buah reformasi ini, kemudian
secara tiba-tiba dihentikan.
Demikian,
sedikit sumbang saran untuk kemajuan bangsa ini, semoga bermanfaat!
Jakarta, 30
November 2017
Dedi Mahardi
Inspirator
dan Author