Rabu, 29 November 2017

Demokrasi Indonesia~Salah orang atau salah sistim?

Demokrasi Indonesia
Salah Sistim atau Salah Orang?


            Menyimak perkembangan di tengah masyarakat bangsa akhir-akhir ini, beberapa tokoh pada beberapa media mempermasalahkan sistim pemilihan langsung, sebagai biang keladi kekisruhan berbangsa. Tetunya kesimpulan tersebut belum tentu benar, apalagi jika hanya melihat permasalahan yang terjadi akibat pemilihan presiden (pilres) tahun 2014 dan pemilihan kepala daerah ibu kota Jakarta (pilkada) tahun 2017 kemarin. Karena pemilihan langsung presiden sudah terjadi tiga kali yaitu; tahun 2004, tahun 2009 dan tahun 2014, dan terbukti dua pilpres sebelumnya tidak berdampak seperti yang terjadi sekarang ini. Walaupun pada dua pilpres sebelumnya, suara ketidakpuasan dan ketidaksenangan terhadap presiden terpilih juga cukup sering terdengar, tetapi tidak sampai menimbulkan perpecahan disana sini seperti yang terjadi sekarang. Apakah karena pada dua pilpres sebelumnya yang bertarung tidak head to head tetapi lebih dari dua pasang calon? Atau karena pada era tersebut penggunaan media sosial yang dituding sebagai salah satu penyebab perpecahan di tengah masyarakat, belum sesemarak sekarang? Harus ada penelitian yang mendalam dengan menggunakan data dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan, sebelum mengambil kesimpulan.
Mengambil hikmah dari pergesekan di akar rumput ketika hasil pemilu tahun 1999 yan dimenangkan oleh partai demokrasi perjuangan PDIP, tetapi dalam sidang umum majelis permusyawaratan rakyat MPR, ketua umumnya tidak terpilih menjadi presiden. Ternyata para pendukung PDIP tidak bisa menerima kenyataan, walaupun kenyataan tersebut merupakan hasil dari sistim yang sama-sama disepakati. Tidak ada undang-undang dan aturan yang dilanggar oleh Amien Rais cs, ketika berhasil mendudukan Abdurahman Wahid sebagai presiden. Tetapi pendukung PDIP tetap sangat marah, sehingga di beberapa daerah yang menjadi basis PDIP, terjadi kerusuhan yang cukup parah. Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa pemenang pemilu tidak otomatis menjadikan pemimpin partainya sebagai presiden. Begitu juga ketika alm presiden Abdurrahman Wahid diturunkan dari kursi ke presidenan, yang oleh sebagian besar umat nahdatul ulama NU dianggap sebagai kerjaan Amien Rais ketua MPR yang juga mantan ketua Muhammadiyah. Sebagian umat NU juga marah dan akibatnya beberapa gedung dan aset milik organisasi Muhammadiyah di beberapa daerah dirusak oleh oknum pengikut dan pendukung NU. Dengan dua sejarah kelam bangsa ini ketika masih menerapkan pemilihan kepala eksekutif diserahkan kepada anggota legislatif atau dewan atau majelis sebagai perwakilan rakyat. Maka belum bisa disimpulkan bahwa pemilihan langsung adalah sudah pasti salah atau tidak baik, sehingga harus dirubah kembali.
Apalagi dengan berbagai sandiwara dan permainan konyol yang terjadi di lembaga legislatif. Seperti lahirnya undang-undang yang mengatur majelis, dewan perwakilan daerah, dewan perwakilan rakyat dan dewan perwakilan rakyat daerah atau MD3, sehingga partai pemenang pemilu tidak mendapat perwakilan pimpinan di dewan. Naiknya kembali seorang ketua dewan yang telah mengundurkan diri karena permasalah yang cukup menghebohkan, dan menurut pandangan beberapa tokoh sangat memalukan. Atau masih bercokolnya seorang wakil ketua dewan yang oleh partainya sudah diberhentikan dari keanggotaan partai, padahal dia waktu dipilih menjadi wakil ketua adalah mewakili partainya. Dan banyak lagi lelucon dan sandiwara yang tidak lucu dipertontonkan kepada rakyat, termasuk anggaran yang lebih banyak demi kepentingan anggota dewan ketimbang demi kepentingan rakyat. Sehingga mungkin akan lebih berbahaya, dengan kondisi sekarang ini mengamendemen undang-undang dasar 45 dan menyerahkan pemilihan kepalah eksekutif kepada legislatif. Menghilangkan partisipasi rakyat terhadap sistim pemerintahan dan negara jelas bukan suatu langkah bijak.
Jika belajar dari kemajuan ekonomi dan industri negara China yang sangat luar biasa, setelah mereka melakukan reformasi pada tahun 1978, lalu merubah sistim ekonomi tertutup menjadi terbuka. Kemudian mereka menerapkan demokrasi ala China yang mereka sebut dengan demokrasi vertikal, dimana partisipasi rakyat dalam sistim sangat kuat dan penting. Dalam sistim demokrasi vertikal tersebut, terjadi titik temu antara kebijakan yang dibuat oleh pemimpin dari atas atau top-down dengan emansipasi rakyat atau botton-um. Walaupun mereka menganut sistim partai tunggal, tetapi proses lahirnya seorang pemimpin sudah sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa mereka yang mengutamakan hubungan harmonis. Rakyat bisa melupakan kepedihan masa lalu dan menatap masa depan, karena antara pemimpin dan rakyat  bisa sepakat membangun bangsa untuk kesejahteraan bersama. Dan terbukti reformasi dan sistim yang mereka pakai telah merubah mereka dari negara miskin menjadi negara raksasa industri dan raksasa ekonomi. Walaupun oleh Barat, sering dipermasalahkan sistim demokrasi yang mereka pakai, karena tidak sepenuhnya mengadopsi demokrasi Barat yang menurut Barat adalah cara terbaik.
Belajar dan memperhatikan negara yang sudah mampan demokrasinya, memang tidak ada yang instan, ada negara yang butuh waktu ratusan tahun untuk membangun demokrasi. Juga ada negara yang hanya beberapa puluh tahun saja, contohnya China dan Korea, tetapi kedua negara ini tidak meniru secara utuh demokrasi Barat melainkan menyesuaikannya dengan nilai-nilai luruh bangsa mereka. Nilai luhur bangsa Indonesia adalah musyawarah mufakat, gotong royong dan tepo seliro bertenggang rasa, sehingga mungkin nilai-nilai luhur bangsa yang sudah mulai luntur tersebut yang terlebih dahulu harus diperbaiki. 
Kesimpulannya, diperlukan kajian yang konprehensif dan menyeluruh jika akan kembali mengamandemen UUD 45 khususnya tentang pemilihan langsung. Kalaupun terpaksa harus mengamandemen, maka persyaratan dan tahapan yang dilalui haruslah betul-betul mendukung. Seperti bagaimana sistim dibuat terlebih dahulu, sehingga anggota dewan yang terpilih betul-betul mencerminkan kenegarawan dan kemampuan mengelola negara dari anggota yang terpilih. Sehingga siapapun yang mereka pilih menjadi pemimpin eksekutif adalah merupakan cerminan dari aspirasi mayoritas rakyat. Karena akan sangat berbahaya jika partisipasi rakyat dan berbagai kebebasan yang dinikmati rakyat sebagai buah reformasi ini, kemudian secara tiba-tiba dihentikan.
Demikian, sedikit sumbang saran untuk kemajuan bangsa ini, semoga bermanfaat!
Jakarta, 30 November 2017



Dedi Mahardi

Inspirator dan Author